Kamis, 23 Desember 2010


aku tidak tahu persis apa yang direncanakan Tuhan untukku dengan menghadirkan rasa yang begitu perih ini. yang kutahu Tuhan itu Maha adil. tapi belum dapat kumengerti keadilan apa atas sakit yang teramat ini. dua kali aku mulai belajar untuk menitipkan hatiku, dua kali pula Tuhan mengambilnya dengan cara yang sama pula. betapa sakitnya aku mengenang ini. sangat sakit. maka kini kupertanyakan apa salah bila aku merindukan orang yang Tuhan sangat kasihi? aku minta maaf Tuhan bila aku merindukan orang yang sangat kau kasihi sampai kau ambil secepat ini dariku. bahkan sebelum ia harus tahu isi hatiku.
kini, ketika aku harus membuka mata dan menyadari dia tak lagi berdiri di sana, betapa inginnya aku mempersalahkan waktu yang membuatku menyadari rasa setelah dia berlalu. rasanya ingin menyalahkan diri sendiri yang tidak pernah bisa mengatakan iya ketika kau meminta. sekarang menyesal pun sudah tak bermakna apapun.
bila orang lantas mengatakan harapan selalu ada, tapi kini kurasa pijar harapanku sudah padam. aku dalam masa kegelapan.
saat ini aku hanya ingin sendiri, menikmati sakitku yang ditinggal olehnya yang telah membumi. meratapi bodohku yang tidak pernah bisa mengatakan iya aku mau. Tuhan, bila kau takdirrkan aku untuk terus sendiri, aku mohon agar Kau tidak pernah mengirimi orang yang kembali dapat membuka luka lamaku bahkan semakin membuatnya melebar. cukup ini saja Tuhan. cukup dua kali kurasakan sakit yang seperti ini.

untukmu yang telah melayang.
kutitipkan satu salam dalam setiap doa yang antar.

Rabu, 29 September 2010

puisi yang bagus dan baik

orang-orang selalu bertanya tentang bagaimana puisi yang baik dan benar. ini bukan pendapat saya semata ya, tetapi pada dasarnya semua puisi yang dibuat oleh seorang sastrawan itu tetap baik dan bagus.
mengapa demikian???
jelas jawabannya karena ada yang disebut sebagai licentia poetika.
kalau muncul pertanyaan apa itu licentia poetica? nah itu bukan semacam judul lagu dari negara yang nun jauh di sana, tetapi licentia poetica adalah kebebasan seorang pengarang dalam menciptakan keryanya. jadi orang lain bahkan dunia lain yang ada di luar pengarang tidak bisa menginterpretasi pengarang dalam menciptakan karyanya.
jadi jangan salahkan pengarang yang mengatakan batu itu berbentuk kotak, karena siapa tahu di bentuk kotak itu dalam tafsiran pengarang memiliki makna yang begitu dalam.
nah kalau pembaca yang budiman tidak percaya mengenai makna licentia poetica berikut saya kutipkan pengertiannya di kamus istilah sastra.

licentia poetica gaya sebagai pilihan dapat dihubungkan dengan kesewenangan atau kebebasan seorang pengarang. (Laelasari dan Nurlailah, 2008: 150)

nah para ahli dalam puisi saja masih memegang erat licentia poetica, mereka bebas akan membuat puisinya menjadi apa saja. kenapa kita lantas yang menjadi paranoid ketika membuat puisi? takut salahlah, takut tidak baguslah...
jadi teruslah berkarya untuk membangkitkan sastra Indonesia....

nah untuk memberi semangat saya cantumkan puisi karya saya sendiri yang yah perlu banyak masukanlah:

Epitaf Cinta di Makam Pujangga

Kubaca epitafmu wahai pujangga
Mengembalikan ingatanku pada rentetan sejarah tentangmu
Tentang elegiku
Elegi kering hati yang terasing

Takdir membelenggu dinding pelangiku
Pada abu yang begitu kelabu
Kau yang membisu kemudian berlalu
Membiarkanku hidup di antara tidur dan terjaga
Membiarkanku menjadi seonggok pasir
yang larut ketika ombak tergelincir
Kau pernah mengajariku menjadi karang
yang tegar ketika ombak menggarang
Namun aku masih tak kuasa
Karena kau memudarkan dinding pelangiku

Dan bila kata melantunkan aroma nafas surga
Namun rasa di sepanjang kenanganku adalah rintisan hawa neraka
Biarkan aku mengenangmu
Pada senyum yang kau cadarkan di wajahmu
Pada tawa yang membentuk jejakmu
Biarkan aku mengingatmu
Sebagaimana api mengingat asapnya
Sebagimana hujan mengingat mendungnya

Kubaca lagi epitafmu
Dan entah sejarah yang mana lagi yang akan menyeretku
Kutahu hidup terus melaju
Dan berakhir pada sebuah batu bisu
Sepertimu, pujanggaku

jadi, tunggu apa lagi, move on dari kata takut puisi buatan sendiri jelek, karena pada dasarnya tidak ada puisi yang jelek, semuanya bagus....kan ada licentia poetica.

Selasa, 28 September 2010

MASIHKAH PELANGI DI MATA MAMA

Malam kian larut dan tak satu pun bintang yang bertengger menghiasi langit yang gelap terbungkus mendung, tapi mama belum pulang juga sampai detik ini. Entah mama ke mana. Tapi ini biasa terjadi, biasa pulang larut, biasa pulang dengan keadaan mabuk, dan keadaan lain yang biasa terjadi di rumah ini kala malam telah mengetuk pintu waktu. Entah apa yang akan terjadi saat mama pulang nanti. Walaupun langit telah gelap sejak tadi tapi aku belum bisa tenang untuk terlelap.

Pintu terketuk begitu mengganggu pendengaranku sampai aku terjaga, aku terlelap dan itu akan menjadi petaka untukku. Sejurus kemudian aku telah berada di depan pintu dan secepat mungkin membukanya. Setelah pintu terbuka lebar, kudapati wajah mama yang memerah entah karena marah atau karena alkohol yang ada di tangannya.
“Darimana kamu sampai selama ini membuka pintu? Kamu pikir menunggu itu enak? Di luar dingin tahu!” dengan langkah gontai mama beranjak menuju kamarnya tanpa menunggu jawaban dariku atas pertanyaannya tadi. Itulah mama yang aku tunggu dari sore tadi, mama yang ketika pulang selalu mabuk, mama yang tak pernah sudi memanggil namaku. Apa ia tak berpikir kalau setiap malam aku menunggunya pulang sampai harus tertidur di sofa yang mulai menenggelamkan badanku karena belum pernah diganti sejak dulu?
Dalam langkahnya sempat aku lemparkan pertanyaan yang membuatnya menghentikan langkah, “Kalau Mama tahu di luar dingin kenapa Mama memilih bekerja malam hari?” dan atas pertanyaanku itu ia malah balik bertanya, “Apa urusanmu?”
“Mama bisa mencari pekerjaan lain yang lebih baik dari ini.”
“Kamu pikir mencari pekerjaan mudah dengan upah besar itu gampang?”
“Mama bisa memulainya dari awal.”
“Kamu pikir aku bisa melakukan apa selain menjual diri? Kamu pikir selama kamu sekolah biayanya dari mana, ya dari ini…dari pekerjaan yang kamu anggap hina ini.”
“Semua juga tahu pekerjaan Mama hina….”
“Apa yang orang-orang itu ketahui tentang aku dan pekerjaanku? Apa mereka tahu tentang kamu yang aku besarkan sendirian? Apa mereka tahu tentang laki-laki brengsek yang pergi setelah ia menjualku pada germo mata duitan itu.”
“Tapi, Ma….”
“Diam…! Jangan sebut panggilan itu. Seharusnya aku tidak membiarkanmu hidup, seharusnya aku menuruti kata Mas Agung untuk membunuhmu saat kau masih bersemayam di rahimku. Andai saja aku menuruti kata-kata Mas Agung, mungkin aku tidak akan seperti ini.”
“Tapi aku juga tidak pernah meminta dilahirkan, Ma.”
“Kamu pikir aku mau melahirkanmu? Aku terpaksa…karena saat itu aku tidak mungkin menggugurkan kandungan yang sudah membesar, nyawaku taruhannya. Dan karena melahirkanmu pula aku dibuang oleh keluargaku, jadi sepantasnya kau kubuang sejak dulu seharusnya.”
  
Kala malam menjemput, saat itu pula gelisah menghampiriku dengan segala rasa yang memang terasa tidak nyaman di dadaku. Kali ini kuputuskan untuk menunggu mama di luar rumah karena aku yakin mama akan pulang cepat malam ini. Tapi jarum waktu telah menempatkan dirinya di angka 12 dan mama belum juga muncul dari remangnya malam. Ya…mungkin kali ini mama tidak akan pulang.
  
Matahari telah bertengger sejak tadi dan kini telah berada tepat di atas kepala. Panasnya dapat kurasakan hingga ke dalam jiwaku yang memang telah kering. Leherku pun mulai menggersang, tapi masih kujalani aktivitasku yang melelahkan dan membosankan. Berjalan kaki, itulah yang aku lakukan saat ini. Tiba-tiba seseorang menghentikan motornya tidak jauh di dapanku, ia menoleh ke arahku kemudian memutar balik motornya dan berhenti tepat di sampingku. Ia membuka helmnya. “Rey?”
“Mau bareng nggak? Toh kita searah. Sudahlah jangan nolak. Ini panas banget lho, kasian kulit putih kamu kalau harus terus terbakar matahari.” Aku pun tak dapat menolak, aku pasrah. Apapun yang akan terjadi nanti aku terima, mungkin Rey akan menjauhiku setelah tahu aku seperti apa. Tapi itu memang seharusnya dan tidak seharusnya aku bermimpi terlampau tinggi untuk bisa lebih dekat lagi dengan laki-laki yang memang menjadi dambaan semua wanita di kampus. Aku memang pemimpi sejati.
Kami sampai, dan seperti dugaanku sebelumnya. Mata Rey mulai mengitari lingkungan sekitarnya. Semua orang memang tahu lingkungan seperti apa tempat tinggalku ini. Wajar jika Rey ternganga seperti ini, mungkin ia tak menyangka gadis lugu dan tampak alim sepertiku tinggal di tempat nakal seperti ini.
“Terima kasih kamu telah bersedia mengantarku.” Ucapanku tadi membuyarkan keterngangaanya dengan lingkungan ini.
“Kamu serius tinggal di sini? Inikan lingkungan….”
“Ya…dan jika kamu mulai jijik denganku itu memang seharusnya dan menjadi kewajaran.”
“Tidak…aku cuma heran kalau….”
“Perempuan seperti aku ternyata tinggal di tempat seperti ini?”
“Tidak juga. Oh ya…apa aku tidak dipersilakan masuk?”
“Kamu ingin masuk? Apa kamu tidak….” Tanpa menungguku menyelesaikan perkataanku ia turun dari motornya dan menarikku menuju depan pintu. Dengan sedikit ketakutan aku mengetuk pintu dengan halus. Tak lama kemudian pintu terbuka dan mama berdiri tepat di hadapanku dan Rey. Mama mengernyitkan dahinya dan menatap Rey.
“Ini Rey, Ma. Teman kampus Angi.” Tanpa ada kata respon mama segera berjalan ke arah dapur. Mungkin mama sedang makan ketika aku datang. “Sepertinya kamu salah waktu berkunjung. Sebaiknya kamu pulang….”
“Tidak sopan mengusir tamu.” Mama kembali dengan membawa dua gelas minuman di nampan. “Ayo nak Rey masuk. Jangan bengong depan pintu.”
“Ada apa dengan Mama? Tidak biasanya dia seperti ini. Apa karena ada tamu? Bukankah Mama ramah padaku jika ada tamu saja.” Kemudian Rey masuk kemudian aku menyusulnya sembari melemparkan tatapan aneh pada mama. Mama manghampiriku yang akan duduk menyusul Rey yang telah duduk terlebih dahulu.
“Aku ingin bicara. Kita ke belakang.” Bisik mama di telingaku kemudian berjalan ke dapur. Setelah bicara pada Rey, aku mengikuti langkah mama yang berjalan ke dapur.
“Berapa laki-laki itu membayarmu?” sergah mama saat aku baru saja sampai di dapur. “Jawab! Aku bertanya bukan untuk kau diamkan seperti itu.”
“Maksud mama apa?” tanyaku, aku mengerti maksud mama tapi aku tak percaya mama akan bertanya seperti itu.
“Berlagak pilon? Aku tidak butuh, aku butuh jawaban kamu.”
“Rey itu hanya teman, Ma. Teman kampus.”
“Tidak mungkin teman kamu ajak masuk ke dalam rumah, lagi pula selama ini kau jarang membawa teman laki-laki ke rumah ini.”
Aku tersenyum, “Mama tahu tentang aku yang tidak pernah membawa laki-laki ke rumah, itu artinya Mama memperhatikan aku selama ini kan?” tanyaku pada mama y ang kemudian wajahnya berubah masam.
“Jangan mengalihkan pembicaraan. Ini tentang kau dan laki-laki itu, bukan tentang kita. Lupakan saja, peduli apa padamu.” Kemudian mama meninggalkanku sendiri di dapur. Ia pergi entah ke mana melalui pintu belakang.

Aku duduk di sofa dengan jarak agak jauh dari tempat duduk Rey. Aku masih terdiam mengiangkan kata-kata mama tadi. Sejujurnya aku bahagia mama bertanya seperti itu karena aku merasa selama ini ia memperhatikanku secara diam-diam tapi di sisi lain hatiku aku sedikit kecewa dengan pertanyaan itu pula.
“Hei…kamu dimarahi Mamamu karena aku ada di sini?”
Pertanyaan Rey mengembalikanku dari renungku. “Tidak. Tapi lebih baik kamu pulang, maaf bukan maksudku untuk mengusir, tapi kamu tahu sendiri tempat apa ini.”
“Ya…aku mengerti, tapi bukan berarti aku tidak boleh berkunjung lagi kan?”
“….” Aku tak menjawab pertanyaan itu karena aku tak yakin dengan jawabanku sendiri, ya jadi aku hanya menjawab dengan sebuah senyuman yang mungkin akan menjadi misteri baginya.
“Aku salut denganmu, seperti apapun Mamamu kamu tak pernah malu mengakuinya dan mungkin jika aku berada di posisimu aku akan….”
“Sudahlah, seperti apapun keadaannya kamu tidak akan berada di posisiku.”
  
Pintu kuketuk halus dari 15 menit yang lalu tapi sama sekali tak ada jawaban. “Apa mungkin Mama tidak ada di rumah?” kutekan ganggang pintu dan pintu itu terbuka begitu saja, rupanya mama memang ada di rumah. Mungkin ia tidur. Setelah mengganti pakaian segera aku menuju ruang tamu dan duduk di sofa sembari membaca ringan. Belum lama aku duduk di sofa tiba-tiba pintu kamar mama terbuka, tentunya aku menoleh dengan niat untuk menyapa mama. Tapi apa yang kudapati, mama keluar dengan seorang laki-laki dan yang membuat hatiku terkoyak adalah aku mengenal jelas siapa laki-laki yang bersama mama itu….
“Rey….” Desahku hampir tak terdengar. Aku berdiri, mengalihkan pandanganku kemudian dengan sedikit keberanian kutatap mama dalam. Dari matanya tak kulihat ada penyesalan. Kembali kutatap Rey, tampaknya ia ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan di mulutnya. Tak ingin mendengar pembelaan dari orang yang mengoyakkan hatiku segera aku berjalan keluar rumah entah akan ke mana.
  
Kusandarkan badanku di sebatang pohon yang dapat menaungi batinku yang benar-benar kering sembari menunggu jam berikutnya. Langit tampak cerah tapi hatiku sedang mendung. Langit hatiku memang sedang tertutup awan pekat setelah terkoyak beberapa bulan lalu. Ini sudah bulan ke enam setelah kejadian di rumah siang itu. Rasanya segalanya teramat sulit, sulit menatap waktu yang terasa begitu lama berjalan, sulit untuk kembali pulang dan menemui mama dengan rasa tanpa bersalahnya itu karena itulah pekerjaannya. Dan rasanya teramat sulit menata kembali koyakan hatiku yang telah tercecer di mana-mana.
Semakin lama terasa sengat matahari hingga ke tenggorokanku yang memang telah kering sejak tadi. Tetes demi tetes air tubuhku mengalir menggelikan. Segelas jus segar tersodorkan di depanku, tanpa melihat atau pun melirik siapa yang menyodorkan jus itu segera aku berdiri dan melangkah pergi karena aku tahu siapa orang yang menyodorkan jus itu dari goresan luka di lengannya. Lenganku tergapainya, dan ia beralih ke hadapanku.
“Ke mana saja kamu? Enam bulan tidak pulang ke rumah. Kasihan Mamamu…! Dia sendiri.”
“Kasihan? Bahkan ia tidak pernah peduli denganku, dengan perasaanku. Mungkin ia akan lebih bahagia tanpa adanya aku. Ia akan bebas dengan keabsenanku. Aku kecewa, kecewaku pada orang yang lalai atas dirinya sendiri, atas orang yang tak dapat menjaga dirinya.”
“Akukan orangnya? Akukan orang yang membuatmu kecewa? Dan jika iya artinya kamu peduli padaku.”
“Dulu, dan hal yang bodoh simpati pada orang yang telah…sudahlah. Aku senang dengan kehidupanku saat ini dan mungkin Mama juga begitu.”
“Tidak, keadaannya tidak seperti yang kamu pikirkan.”
“Aku sudah tak peduli. ’Apa yang terjadi pada Mama.’ Terserah ia ingin bagaimana. Toh aku hanya jadi beban baginya.” Walaupun begitu aku tetap khawatir dengannya. Rey menatapku, dan tatapannya itu dapat kurasakan masuk ke dalam batiku. Sejurus kemudian ia menarikku naik ke motornya yang kemudian melaju dengan kecepatan tinggi.
Dengan motornya ia membawaku ke rumah, aku memang bertanya-tanya mengapa ia mengantarku ke rumah tapi aku tak ingin menanyakannya langsung karena sejujurnya aku pun ingin menemui mama yang selama enam bulan aku tinggalkan dan aku yakin ada yang ingin ia tunjukkan padaku sampai harus memaksaku pulang. Kemudian Rey membuka pintu yang memang tak terkunci. Kuikuti langkahnya masuk ke dalam rumah yang kemudian menuju kamar Mama, dan betapa kagetnya aku melihat keadaan mama yang teramat menyedihkan. Tak pernah aku melihat mama terkapar tak berdaya seperti itu sebelumnya. Ini membuatku lebih miris daripada saat aku melihatnya bersama Rey siang itu. “Apa yang terjadi pada Mama? Tuhan ampuni aku yang menelantarkan Mama hingga seperti ini, tapi apa iya Mama seperti ini Karena aku?” tapi apapun sebabnya Mama seperti aku merasa bersalah karena saat-saat seharusnya aku ada malah aku menjauh darinya. Betapa berdosa dan durhakanya aku. Kudekati mama dengan perlahan dan setelah berada di sisi tempat tidur aku berlulut dan memeluk mama tanpa peduli ia akan melemparkan tubuhku nantinya, tapi apa yang kutakutkan tak terjadi. Mama malah membalas pelukanku, terasa koyakan hatiku yang berserakan kembali menyatu dan kecewaku hilang seketika melebur bersama haru yang menempel di batinku. Setelah puas melepas rindu kulepaskan pelukanku di tubuh mama yang terasa hangat. “Maafkan aku, Ma. Seharusnya aku tidak meninggalkan Mama sampai tidak ada yang mengurus Mama seperti ini.”
“Ini bukan salahmu. Ini memang salah Mama dari awal sayang.”
“....” tanpa ada komentar dariku mendengar mama memanggilku sayang, kata yang tak pernah kudengar dari mama sebelumnya. Kini satu Tanya dalam benakku, bersediakah ia memanggil namaku?
“Maafkan Mama yang menelantarkan kamu selama 20 tahu lebih. Mama bukan orang tua yang baik.”
“Bukan, Mama memang bukan orang tua yang baik tapi mama adalah orang tua terbaik. Apa yang terjadi pada Mama? Mama sakit apa?”
“Mama tidak apa-apa, Mama malah bersyukur dengan keadaan seperti inilah yang membuat Mama sadar bahwa betapa meruginya menelantarkan pelangi kecil Mama yang kini telah beranjak dewasa. Mama takut dengan kamu menjadi dewasa dan dekat dengan Mama kamu akan mengikuti langkah Mama. Cukup Mama yang tersesat, Mama tidak ingin kamu juga.”
“Tapi aku tidak akan membenci wanita yang menjagaku di rahimnya dan di dunia selama 20 tahun ini.”
“Dan tentang Rey, Mama tidak ada hubungan apapun dengan dia karena Mama tahu kamu sangat simpati padanya. Siang itu Rey… .” mama memulai ceritanya dan cerita itu benar-benar bertolak belakang dari kenyataan yang kulihat.
Aku menghampiri Rey yang duduk di sofa sambil menonton tv dan duduk di sofa yang sama namun dengan jarak yang lumayan jauh. Aku tidak tahu harus mulai dengan kata-kata seperti apa karena rasa bersalahku membuatku canggung padanya. “Terima kasih karena kamu sudah merawat Mama selama aku tidak ada dan karena kamu sudah menolong mama saat dia pingsan tapi aku malah membuat hipotesa sebelum tahu kejadian aslinya seperti apa, jadi aku minta maaf.”
“Sudahlah, yang penting nama aku sudah bersih di mata orang yang simpati padaku dan apa salahnya membantu calon mertua.”
“Maksudnya? Tapi Rey Mamaku sakit apa?”
“Dia…” belum sempat Rey menyelesaikan kalimatnya terdengar suara batuk mama dan diikuti suara barang pecah belah jatuh ke lantai. Segera aku dan Rey mencari tahu apa yang terjadi di kamar mama.
Gelas yang tadinya bertengger di meja rias mama kini berserakan di lantai. Mungkin saat mama batuk ia ingin minum dan mencoba menggapai gelas itu namun sepertinya dat sampai. Segera kudekati mama yang terbatuk-batuk menutup mulut. “Kita ke dokter ya, Ma. Aku tidak sanggup melihat mama seperti ini.” Mama tak menjawab, ia menggelengkan kepalanya.
“Maafkan Mama, tidak seharusnya Mama sadar setelah semuanya akan berakhir. Betapa bodohnya Mama yang telah melewatkan moment-moment berharga bersamamu. Pelangiku…anakku…Mama menyayangimu.” Kutatap mata mama dalam, tak pernah aku melihat mata mama sedekat ini sebelumnya. Dan kini jelas kulihat ada diriku di mata mama yang mulai memancarkan warna baru seindah pelangi. Tak pernah kulihat mata mama begitu mendamaikan hatiku. Dan mama menyebut namaku, Tuhan begitu indah dan sempurnanya terasa hari ini.
“Apa yang akan berakhir?” seperti ada dua magnet yang berlawanan kutub mama mendekapku begitu erat. Aku pun tak tahu mengapa, aku merasa pelukan ini berbeda dengan pelukan mama yang pertama tadi. Mama kembali terbatuk-batuk dan…darah keluar dari mulutnya. Tubuhnya terkulai ke tempat tidur masih dengan darah di tangan dan bibirnya.
“Mama…” bisikku pelan di telinga mama.
“Mama tidak apa-apa sayang. Biarkan Mama tidur sebentar saja, Mama terlalu lelah dengan hari-hari Mama.”
Sejenak hening menyelimuti ruangan berukuran 2x2 meter ini. Kulihat mama tidur dengan begitu damainya. Seperti seorang bayi yang dengan polosnya menjalani harinya dengan ketidaktahuannya. Tapi tidur mama yang begitu damai tak membuat hatiku tenang, semakin kuperhatikan tidur mama seperti orang yang nyawanya sudah tak lagi bersemayam di raganya. Bahkan dadanya tak kembang-kempis untuk menandakan masih ada nafas di tubuhnya. “Mama…” kuletakkan kepalaku di dadanya dan semakin membuatku yakin bahwa mama meninggalkan pelanginya yang baru saja mulai ia sadari keberadaannya.
  
Di pusara ini tubuh mama telah bersemayam, tak dapat lagi kulihat tubuh indahnya, matanya yang ternyata masih menyimpan wajahku yang selama ini kupikir telah ia buang. Sampai saat terakhirnya pun ia masih menyimpan wajah ini karena wajah inilah yang ia lihat terakhir kalinya. Tapi kini satu Tanya kembali membebani otakku, masihkah pelangi di mata mama?
  


26 January 2009

Selasa, 29 Juni 2010

sosiolinguistik

mencontek ternyata ilmu yang poaling mengena diotak mahasiswa.....
mmmmm,,, kapan ya indonesia bisa maju...????
padahal ujiannya tadi gampang (kalo belajar seh). dasar kita-kita mahasiswanya
tukang contek semua.....
lain kali dah belajarnya